Rumah sederhana khas lingkungan pedesaaan di Bantul dengan dominan warna cat hijau, tampak terlihat beberapa orang sedang mengerjakan proses membatik. Terlihat dengan jelas banner berukuran besar bertuliskan ‘Difabel Zone’, lengkap dengan logonya yang menampilkan seseorang yang duduk di atas kursi roda. Beberapa orang penyandang tuna daksa juga terlihat duduk lesehan di lantai yang dingin, sembari memegang selembar kain dan canting lengkap dengan malam atau lilin khusus sebagai bahan utama membatik. Para penyandang disabilitas ini memiliki cara tersendiri dalam membatik, bisa dengan tangan kanan atau tangan kirinya. Bahkan, ada yang menggunakan kaki untuk menuangkan lilin yang panas di atas kain batik. Lidwina Wuri Akhdiyatni merupakan salah satu pendiri dari komunitas Difabel Zone. Komunitas tersebut ia dirikan dikarenakan adanya keresahan bahwa sangat minimnya lapangan pekerjaan untuk penyandang disabilitas. Terutama para pekerja yang ada di komunitas difabel zone yang menderita “cerebral palsy” yaitu orang yang mengalami gangguan motorik saraf otak, bahkan lebih ke motorik gerak. Berawal dari pelatihan yang saat itu dimentori dirinya pada kegiatan di Pusat Rehabilitasi Yakkum (Yayasan Kristen Untuk Kesehatan Umum) di kawasan Kaliurang, Sleman Yogyakarta. Pelatihan tersebut dilakukan selama tiga bulan. Komunitas Difabel Zone sendiri dilatarbelakangi oleh keresahan dari Lidwina beserta temannya dalam permasalahan minimnya lapangan pekerjaan yang diperuntukan bagi teman-teman penyandang disabilitas. Adanya komunitas ini diharapkan menjadi sebuah bentuk solusi yang nyata untuk mengatasi permasalahan dimana sangat minimnya lapangan pekerjaan yang diperuntukan untuk teman-teman penyandang disabilitas. “Saya ingin menginspirasi banyak pihak sebenarnya, untuk ikut serta memecahkan permasalahan dimana selain sangat minimnya lapangan pekerjaan untuk teman-teman penyandang difabel, juga memberikan ruang dan kesempatan untuk mereka lebih berkarya, lebih percaya diri, lebih produktif, sehingga tidak hanya menjadi beban tanggungan dari anggota keluarga yang lain ataupun orang tua,” jelas perempuan yang akrab disapa Wiwin saat ditemui di Rumah Difabel Zone, kawasan Pandak Bantul Yogyakarta, Sabtu (20/8/2022) sore. Hadirnya sebuah inovasi baru seperti komunitas Difabel Zone ini merupakan contoh suatu gagasan baru bagi para pelaku usaha. Selain menjalankan usaha dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan juga dapat memberi lapangan pekerjaan dan memotivasi bagi para penyandang disabilitas di luar sana, agar mau berkarya dan tidak memiliki ketergantungan terhadap keluarga. Selain itu, dengan adanya komunitas Difabel Zone ini juga dapat menjadi jembatan bagi teman-teman penyandang disabilitas untuk membaur dengan masyarakat dan tetap produktif meski dengan keterbatasan yang mereka miliki. Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang bergerak pada bidang pembuatan batik di Indonesia, memanglah sangat banyak. Akan tetapi, masih minimnya ide usaha yang para pekerjanya berasal dari penyandang disabilitas. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada bulan Februari tahun 2020 tercatat jumlah penduduk usia kerja penyandang disabilitas sebanyak 17, 74 juta orang. Penggunaan nama Difabel Zone ini juga agar bisa lebih mudah dicari dan ditemukan oleh sesame penyandang disabilitas, sehingga mereka merasa menyatu dan solid. Bahkan, Wiwin juga yang sering bersinggungan dengan para penyandang disabilitas mengakui, ada banyak pelajaran hidup sehingga membuat dirinya bahagia dan bersyukur. “Ini memberikan warna baru untuk saya dan teman-teman difabel, bahwa kaum yang selama ini dianggap lemah dan tak berdaya, ternyata ketika diberi kesempatan mereka bisa lebih mandiri, lebih produktif dan mereka lebih percaya diri tentunya,” ungkapnya. Sejak didirikan pada tahun 2017, produk yang dihasilkan pun berupa batik tulis dan shibori yang dikerjakan oleh teman-teman penyandang disabilitas. Anggota dari komunitas Difabel Zone pun sangat beragam. Tidak hanya dari Yogyakarta saja, namun dari luar daerah seperti Magelang, Salatiga, dan Muntilan. Salah satunya adalah Mulyani, pengrajin kain batik di komunitas Difabel Zone. Dirinya telah bekerja semenjak tahun 2015. Alasan Yani memilih untuk bergabung di komunitas tersebut adalah untuk mencari pengalaman pekerjaan agar tidak bosan dengan berduduk diam di rumah. Ia juga sempat menceritakan di komunitas Difabel Zone ini ada sekitar tujuh temannya penyandang disabilitas yang tinggal dan bekerja sebagai pengrajin batik, dengan dikepalai oleh Hermanto yang biasanya membuat gambar motifnya. Yani dan empat penyandang disabilitas lainnya juga tinggal bersama, di sebuah rumah yang disewakan oleh Wina untuk tempat tinggal teman-teman disabilitas yang bekerja di komunitas Difabel Zone. Mereka sangat senang bisa tinggal dan bekerja di sana, selain ingin berkarya dan mendapatkan pengalaman. Komunitas difabel zone juga memberikan keluarga baru yang saling peduli terhadap satu dengan yang lain. “Saya itu juga senangnya bisa pergi diajak Ibu Lidwina biasanya ke pameran, ketemu orang-orang baru, ke luar kota, dan mendapatkan ilmu. Jadinya itu sangat membuat saya senang, karena saya bisa berinteraksi dan ketemu orang baru,” katanya disela-sela membatik. Yani dan teman-teman disabilitas lainnya yang lain ikut belajar dan dilatih cara membatik selama tiga bulan dengan suka dan duka. Dari pelatihan di pusat rehabilitasi Yakkum tersebut, Wina bertemu dengan teman-teman disabilitas yang saat ini bekerja di komunitas Difabel Zone. Kendala yang dihadapi saat awal-awal membangun komunitas ini pun ada. Salah satunya mengalami kesulitan dalam hal pemasaran, sebagian besar masih sangat underestimate dengan produk-produk hasil difabel. Pemasaran di masyarakat pada saat itu belum memiliki respon positif yang berbeda dengan saat ini. “Alhamdulilah semakin banyak masyarakat yang membeli dan merespon positif produk karya teman-teman dari komunitas ini” imbuhnya.
Dengan berkembangnya waktu ke waktu, produk yang dihasilkan komunitas Difabel Zone pun juga ikut berkembang. Tidak hanya sekedar menghasilkan kain batik saja, bahkan saat ini mulai mengembangkan motif-motif baru terutama batik tulis kemudian juga menjaga quality control agar tetap terjaga kualitasnya ke tangan konsumen. Untuk hasil produk yang akan dijahit, berupa produk seperti totebag, pouch, dompet, dan berbagai merchandise lainnya. Untuk proses pemasaran produk di komunitas Difabel Zone ini melalui titip jual ke toko pusat oleh-oleh, ada juga yang dititipkan di beberapa destinasi wisata yang viral. Mulyani, salah satu penyandang disabilitas (Foto: Luphiana MS.) Bahkan, mereka menitipjualkan produk disabilitas yang memang bersedia menampung produk difabel. Dalam dua tahun terakhir ini, komunitas Difabel Zone juga menginovasi untuk penjualan secara daring melalui marketplace seperti Shopee dan Tokopedia. Selain itu juga lewat akun sosial media komunitas difabel zone yang ada di Instagram. Wina juga mengajarkan kepada para penyandang disabilitas untuk beradaptasi secara online dengan berjualan secara langsung di media sosial Instagram. Komunitas difabel zone juga masih membuka diri untuk teman-teman penyandang disabilitas di luar sana yang ingin bergabung cara membatik. Apalagi setelah beberapa tahun lalu sempat mengadakan pameran dari Jakarta, Bogor, Palembang, hingga Medan. Untuk belajar efektif seperti pelatihan bisa selama kurang lebih tiga bulan. Ada kelas sendiri untuk itu. Harapan dari Wina dalah agar komunitas difabel zone dapat menginspirasi banyak pihak. Ia mengharapkan bahwa komunitas tersebut, tidak hanya berada di Bantul saja. Mungkin bisa membuka komunitas difabel zone di daerah lainnya. Tentu saja di luar sana, masih banyak teman-teman disabilitas yang masih kesusahan untuk bekerja. Dikarenakan stigma yang ada bahwasanya kekurangan tubuh yang mereka derita akan mempengaruhi pada dunia kerja. Padahal jika ada pelatihan yang mempertimbangkan adanya kekurangan bisa dipertimbangan. Namun tetaplah semua itu, harus tetap mempertimbangkan aktivitas pekerjaan yang tidak berat. Misalnya saja membatik, membuat souvenir, atau pekerjaan yang tidak membutuhkan suatu tenaga yang besar. Hanya butuh kemauan dan ketelitian yang terus dilatih. Dengan semakin banyaknya program dari pemerintah setempat, maka hadirnya komunitas Difabel Zone ini menjadi solusi dan memberikan kesempatan kepada penyandang disabilitas agar dapat lebih percaya diri di lingkungan masyarakat, beradaptasi, dan berkarya tentunya. Kekurangan seseorang tidak menjadikannya berbeda. Seringkali kita memandang sebelah mata dan memberikan belas kasihan kepada disabilitas.
Namun kita lupa, bahwasanya yang mereka butuhkan tidak hanya sebuah belas kasihan yang berupa bantuan secara material. Seperti bantuan uang, barang, dan bantuan logistik lainya. Padahal yang mereka butuhkan hanyalah dukungan dan kepercayaan masyarakat kepada para penyandang disabilitas. Semoga dengan hadirnya komunitas ini, akan menjadi inspirasi di kalangan masyarakat Indonesia untuk lebih peduli terhadap teman-teman penyandang disabilitas. Tidak hanya sekedar dikasihani saja dan diberi sebuah bantuan jangka pendek. Namun juga mendukung penuh serta menciptakan lapangan kerja yang lebih untuk para penyandang disabilitas di Indonesia.